Minggu, 12 Juni 2011

UNGKAPAN DALAM BAHASA KOREA

UNGKAPAN-UNGKAPAN BAHASA KOREA
I. Saat berjumpa ( 만났을 때 )
-안녕 하십니까 ( Annyeong hasimnika ) atau lebih akrab -안녕하세요 ( Annyeong haseyo ). Salam ini bisa digunakan untuk menyatakan “selamat, baik pagi, siang, sore ataupun malam”, dan diucapkan di awal perjumpaan pada hari itu. Satu hari cukup sekali saja.untuk teman sejawat atau ke yang lebih rendah bisa hanya dikatakan “ Anyeong”, namun kalau tidak akrab benar tetap digunakan “안녕하세요 ( Annyeong haseyo )”.
-처음 뵙습니다 (cheo eum boepsemnida ) bisa dimaknai ” apa kabar”
-만나 서 반갑습니다 ( mannaseo bangapseumnida) atau 만나서 반가워요 ( mannaseo bangaweoyo ).
II. Saat jumpa setelah lama tidak bertemu ( 오랜만이 만날 때 )
- 오 래만이에요 ( oraemaniyeyo ) ” lama tidak berjumpa anda “
- 잘 지내셨어요 ( jal jinae syeosseoyo ) menanyakan kabar ” baik2 saja kan..? karena yang diinginkan jawaban ” 잘 지내요 ( jal jinaeyo )” yaitu baik-baik saja.
III. Bertemu waktu pagi hari ( 아침 만났을 때 )
-안녕 히 주무셨습니까 ( Annyeonghi Jumusyeotseumnikka ) ? ungkapan ” apakah tidur anda nyenyak..?” ini merupakan pernyataan selamat pagi.
-좋은 아침이에요 ( joheun achimieyo ) ” selamat pagi “.
IV . Salam waktu malam ( 밤에 인사 )
- 안 녕히 주무세요 ( Annyeonghi jumuseyo ) adalah ucapan” selamat tidur”.sedangkan bila diucapkan kepada teman atau seorang yang akrab bisa dengan : - 잘자 ( jalja ) atau 좋은 꿈꿔 ( Joheun kkum kweo ), keduanya juga ungkapan selamat tidur.
V. Salam waktu berpisah ( 헤어질때 인사) :
- 안 녕히 가세요 ( Annyeonghi Kaseyo ) ” Selamat jalan “, diucapkan untuk yang akan pergi.
- 안 녕히 게세요 ( Annyeonghi Kyeseyo ) ” Selamat tinggal ” orang yang akan pergi kepada orang yang ditinggal.
- 또 뵙겠습니다 ( ddo bwepkessemnida ) atau ” Sampai jumpa lagi “. Atau yang lebih familiar boleh pakai 또 만나요 ( ddo mannayo ) .
VI. Salam waktu keluar rumah ( 외출 할때 )
- 다 녀 오겠습니다 ( Danyeo ogessemnida ) ini adalah ungkapan untuk berpamitan. Atau informalnya bisa 갔다 울게요 ( katda ulgeyo ).
- 다 녀 왔습니다 ( Danyeo wasemnida ) adalah ucapan ketika sampai dirumah. sedang yang di pamiti biasanya mengatakan :
- 다 녀 오세요 ( Danyeo oseyo ) atau 잘 갔다 왔어요 ( jal katda wasseyo ) .

Sabtu, 11 Juni 2011

BIOGRAFI AL-GHAZALI

IMAM AL-GHAZALI
1. Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali. Beliau di lahirkan di thus, suatu Kota di Khurasan pada tahun 450H. pada masa kecilnya ia mempelajari Ilmu Fiqih di negrinya sendiri pada Syekh ahmad bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di negri Jordan. Setelah mempelajari Ilmu-Ilmu di negrinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Haromain. Setelah Imam Haromain wafat , al Ghazali pergi ke Al-azhar untuk berkunjung ke Menteri Nizam al Mulk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ketika pada tahun 484H/1091M Menteri Nizam al Mulk melantik Al Ghazali sebagai guru besar (professor) pada Perguruan tinggi Nizamiyyah yang berada di Kota Bagdad.
Pada tahun 488H, Al Ghazali melaksanakan ibadah Haji. Setelah selesai melaksanakan ibadah Haji, ia kemudian pergi ke syiria (syam) untuk mengunjungi baitul Maqdis, yang kemudian melanjutkan perjalananya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Di sini ia beribadat di Masjid Umawi pada suatu sudut hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al Ghazaliyah. Pada saat inilah ia sempat mengarang sebuah kitab yang sampai saat ini kita tersebut sangat terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Ia tinggal di Damaskus kurang lebih selama 10 tahun dan ia selalu beribadat mendekatkan diri ke pada Alloh dan berkhalwat.
Setelah penulisan Kitab Ihya’ Ulumuddin selesai, ia kembali ke Bagdad, kemudian mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya. Setelah itu ia pulang ke kampong halamanya dan mendirikan sekolah yang berada di samping rumahnya. Di kota Thus inilah beliau ahirnya meninggal pada hari senin tanggal 14 Jumadil akhir 505H/1111M.
Sesaat sebelum meninggal beliau sempat mengucapkan kata-kata yang juga di ucapkan oleh Francis Bacon, Filosuf Inggrris yaitu: “Ku letakkan arwahku di hadapan Alloh dan tanamkanlah jasadku di lipat Bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia dimasa yang akan datang”
2. Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

3. Al Ghazali sebagai Filosuf Islam
Mungkin al Ghazali sendiri tidak rela jika ia di kategorikan sebagai Filosuf Islam, karena ia telah menyerang habis-habisan, bahkan mengatakan kufur pada Filsafat dan pemukanya. Namun dalam kenyataanya ia seorang filosof besar , filosuf yang sebenarnya hal ini mau tidak mau, yang telah menjuruskan pemikiran filsafatnya ke dalam Islam. Bukti yang mendukung ia seorang filosuf adalah:
a. Al Ghazali dalam menulis sebuah kitab-kitabnya ditujukan untuk menyerang berbagai kalangan tertentu seperti para fuqoha, filosuf, dan para teolog, sedangkan sebagian kitab-kitab lainya memaparkan sudut pandang yang di relai dan di pertahankan, itu semua karena factor yang esensial yaitu problema filsafat yang merupakan tingkat pertama dalam jenis dan urugensi, yakni problema keyakinan yang tidak goyah lagi terhadap apa yang ada dibalik kenyataan kenyataan yang telah dicapai ilmu pada zamanya. Hal demikikian di tuangkan dalam kitabnya Al Munqidz min Al Dhahal. Al Ghazali mengatakan: “sesungguhnya yang saya cari adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Yang tampak pada saya adalah bahwa ilmu yakin itu adalah yang menyingkapkan obyek pengetahuan (ma’lum)begitu rupa, sehingga tidak ada keraguan lagi, dan tidak disertai oleh kemungkinan salah dan paham dan hatipun tidak mampu menilainya, malah penghindaran dari kesalahan seyogyanya menyertai dari keyakinan itu. Bahwa setiap apa yang tidak saya ketahui menurut cara ini dan yang tidak saya yakini menurut keyakinan ini, maka illmu tersebut tidak dapat dipercayai dan tidak aman (penghindaran dari kesalahan). Setiap ilmu yang tidak aman dengan keyakinan, maka ilmu itu bukakan ilmu yakin.
b. Hakikat yang menjadi cirri keyakinan Al Ghazali adalah hakikat tasawwuf, bukan hakikat lain. memang sebelum itu, ia mengakui adanya norma lain lagi bagi hakikat seperti yang juga di akui oleh para filosofi disepanjang zaman, dan ia menjadikan norma tasawwuf bukanlah dengan rangkaian dalil dan susunan kalam, tetapi dengan nur yang di tempatkan alloh dalam dada (hati), nur itu merupakan anak kunci kebanyakan ma’rifah. Maka barang siapa menyangka penyingkapan (kasf) it u bergantung kepada dalil-dalil, maka ia telah mempersempit rahmat alloh yang maha kuasa.
Sikap filsafati Al ghazali dalam menyoroti seluruh hakikat dan ajaran agama itulah yang mendukung bahwa ia seoran filosuf, walaupun ia sendiri tidak rela.

4. Hasil Karya Al Ghazali
Karangan Al Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah. Karangan karanganya meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Kalam (theology Islam), fiqh, tasawwuf, akhlaq, dan autobiografi. Sebagian besar dari karanganya adalah berbahasa arab dan sebagian lainya adalah berbahasa parsi.
Diantara karangan yang banyak itu ada beberapa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalanga ulama’ Indonesia. Namun sangat dikenal oleh negri barat. Yaitu buku yang menyebabkan polemic di antara ahli filsafat , buku tersabut adalah Maqosidul falasifah (tujuan para ahli filsafat) dan kitab Tahafut Al falasifah (keberantakan para filosof).
Adanya penyerangan dari kalangan fuqoha’ dan tasawwuf adalah disebabkan sikap Al Ghazali yang menentang para filosof islam, bahkan dia sempat mengkafirka dalam tiga hal
1) Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani
2) Membatasi pengetahuan tuhan kepada hal-hal yang besar saja
3) Adanya kepercayaan kepada qodimnya alam dan keaslianya
Penyerangan ini termuat dalam kitabnya yang terkenal yaitu: Tahafut Al falasifah dan Al munqiz min Adhalal. Akan tetapi dalam bukunya yang lain yaitu Mizan Al Amal, dikatakan bahwa ketiga tiganya persoalan tersebut menjadi kepercayan orang-orang Tasawwuf juga, juga dalam bukunya Al Madhnun ‘ala Ghairi Ahliihi, ia mengakui qodimnya alam.

5. Ajaran Al Ghazali
a) Tasawwuf
Al Ghazali di kenal dengan orang yang haus dengan segala Ilmu pengetahuan. Ia berusaha sekeras mungkin agar dapat suatu keyakinan dan mengetahui segala hakikat sesuatu. Sehingga senantiasa ia bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersikap Inderawi dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan pada kitab Al Mungidz, yaitu: sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir denhan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan keragu raguan ini semakin mendalam, dengan perkataanya: “bagaimana pengetahuan inderawi itu bias diterima. Seperti misalnya pengelihatan sebagai indera yang terkuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkarnya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah beberapa saat, engkau melihat bahwa bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit , sehingga di ketahui sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Demikian pula ketika engkau melihat bintang, maka di kira ia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti yang sebenarnya menunjukkan bahwa bintang itu lebih besar dari pada bumi”.
Demikianlah alam inderawi, ia telah menetapkan keputusan-keputusan sendiri. Akan tetapi ia dibantah oleh sang akal fikiran dengan suatu bantahan yang tidak bias di tolak lagi. Aku berkata karena kepercayaan kepada Indera sudah hilang , maka boleh jadi hanya pikiran saja yang boleh dipercayai, seperti hokum yang menyatakan bahwa sepuluh lebih banyak daripada tiga, bahwa tidak ada dan tidak mungkin ada berkumpul kedua-duanya pada suatu perkara, dan bahwa sesuatu tidak mungkin baru dan qodim bersama-sama atau wajib dan muhal bersama-sama. Ini semua mesti harus terpisah
Memang sebenarnya sukar untuk menyebutkan sikap Al Ghazali tersbut dengan tasawwuf, dan boleh jadi nama yang tepat ialah Subyektivismus (kepribadian), sebagai mana yang disebutkan oleh J. Obermenn, dalam bukunya Der Philosophisceund Religius Subyektivismus Ghazali (kepribadian filsafat dan agama pada Al Ghazali). Pengetahuan yang dimiliki oeleh Al Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, tidak pula dari hasil argument-argumen ilmu kalam.
b) Filsafat Metafisika
Al Ghazali menghantam pendapat-pendapat Filsafat Yunani, diantaranya juga Ibnu Sina c.s., dalam dua puluh masalah. Diantaranya yang terpenting iyalah:
1) Al Ghazali menyerang dalil-dalil Filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Disini Al Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab di ciptakan oleh tuhan.
2) Al Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam it uterus menerus tanpa akhir andai kata Tuhan menghjendakinya. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri diluar iradat Tuhan.
3) Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil (juz’iyat)
4) Al Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hokum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hokum itu. Bagi Al Ghazali segala peristiwa yang serpa dengan hokum sebab akibat itu adalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hokum kepastian. Dalam hal ini jelas Al Ghazali menyokong pendapat Ijraul-‘adat dari Al Asyari.
c) Etika
Filsafat etika Al Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawwufnya dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin. Dengan kata lain, Filsafat etika Al Ghazali ialah teori tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika al Ghazali kita temui pada semboyan taswufnya yang terkenal: al-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyan yang lain, al-shifatir-rahman ala thaqalil-basyatiyah. Maksud dari semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupanya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun, dan sikap-sikap yang disukai tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ihlas, beragama, dan sebagainya.
Al Ghazali, sesuai dengan prinsip islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana, juga dalam materi. Hanya pemakaianya yang di sederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
d) Konsep Iman dan Kufur
Al Ghazali dalam pemikiranya, menentang ilmu kalam dan para ulama kalam, meski ia sendiri tetap menjadi seorang tokoh ilmu kalam. Sebagaimana penyeranganya terhadap argument-argumen para filosuf, tetapi ia menjadi tikoh filosuf. Kritikan Al Ghazali kepada para ulama’ kalam hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahankam oleh mereka melalui argumentasi.
Dalam memperkuat iman orang-orang biasa, menurut Al Ghazali tidak diperlukan argument-argumen pemikiran yang dalam. Ia menyayangkan adanya pertentangan pendapat dalam beberapa persoalan dan tuduhan telah menjadi kafir yang di keluarkan oleh pengikut beberapa aliran terhadap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka, karena dirasa perlu untuk memberikan batas pemisah antara iman dengan kufur dan antara islam dan non islam.
Al Ghazali membuat garis pemisah antara iman dan kufur, dengan mengatakan: “kufur adalah mendustkan rosul tentang apa yang dibawanya, sedangkan iman adalah mempercayai semua yang dibawahnya. Orang Yahudi dan Masehi adalah kafir, karena keduanya mendustakan rosul. Orang-orang agama Brahmana lebih lebih lagi, kerena mengingkari semua rosul-rosul termasuk Rosul Muhammad saw. Kemudian menyusul orang-orang agama Dualisme, orang-orang zindiq dan orang-orang materialis. Mereka semua adalah orang-orang Musyrik, karena mendustakan rosul. Setiap orang kafir mendustakan (tidak mempercayai)Rosul, dan setiap orang yang mendustakan Rosul adalah orang kafir, ini adalah garis pemisah yang berlaku terus.”


Ia mengatakan lagi: “orang yang menta’wilkan tidak boleh di kafirkan selama mereka berjalan di atas aturan ta’wil. Bagaimana karena penta’wilan semata-mata sudah menjadi kafir, sedangkan semua pihak dalam islam mesti menggunakan ta’wil.”
Al Ghazali mengungkapkan dua masalah yakni bentuk wasiat dan satu aturan pokok dengan suatu ringkasan sebagai berikut:
Wasiat itu adalah: Tutup mulutmu (jangan menuduh) terhadap ahli kiblat (orang islam) sedapat dapatnya, selama mereka mengatakantidak ada Tuhan kecuali Alloh, dan Nabi Muhammad adalah Rosululloh. Satu aturan pokok adalah bahwa ilmu tentang kepercayaan ada dua bagian, yaitu bagian yang bertalian dengan soal-soal cabang. Dasar-dasar iman ada tiga, yaitu iman kepada Tuhan, kepada Rasulnya, dan kepada hari akhir (akhirat), selain ketiga soal ini, termasuk soal cabang. Dalam soal cabang tidak ada pengkafiran sama sekali, kecuali dalam satu hal saja, yaitu mengingkari dasar agama yang telah diketahui dari rosul saw. Dengan jalan yang pasti (mutawatir).
Seseorang tidak boleh mengkafirkan lawanya, hanya karena behwa lawan tersebut memakai alas an pikiran (burhan). Paling banyak hanya sesat dari jalan yang di tempuh oleh (seseorang tersebut), dan dengan pengertian bahwa ia telah mengadakan suatu pendapat yang tidak pernah dijelaskan ulama’-ulama; salaf.
Sedangkan iman sebenarnya adalah bukan soal rasio (pikiran) melainkan soal perasaan dan hati. Kerena itu Al Ghazali bermaksud mengambillkan islam kepada tradisi ulama’ salaf, dan menganjurkan setiap muslim untuk mencari kebenaran didalam Qur’an sendiri, sebagai suber imanya, bukan dari proses pemikiran dan alas an-alasan pemikiran mereka. Iman tidak cukup dengan mengetahui syari’at, tetapi harus dengan mengamalkan perinth-perintahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Musthafa, H.A., Filsafat Islam, CV.Pustaka Setia: Bandung, 1997

Al-Ghazali, Maqashidul Falasifah, Dar Ma’arif: Kairo, 1961

Al-Ghazali, Tahafut Al falasifah, Dar Ma’arif: Kairo, 1955

Ahmadi Abu, Drs., Filsafat Islam, Toha Putra: semarang, 1982

Atjeh Abubakar, Sejarah Filsafat Islam: Semarang 1970
[LYRICS] cheonaejia JNang Nara ( Dong Yi OST ) ROMANIZATION

jeo haneur wi nunmullo geurin baramui soksagim
gubigubi ttaraga geu soge jamdeunda

geurium dahajin geugoseun aryeonhan gieoksog geugoseun
http://awansetya18.blogspot.com/
deulkkoccheoreom sarajyeo beorineun haneur kkoc geuriumdeul

neora neora haneuri naeryeora kkumgir gadeug heureuneun sori
http://awansetya18.blogspot.com/
neora neora byeolbicdo ollyeo narara
geurium datneunda kkumgireur geotneunda

[LYRICS] cheonaejia - Jang Nara ( Dong Yi OST ) ENGLISH

The green sky above, the winds whispering of tears
Fall asleep in along winding road

Yearning for a place that looked vaguely in memory
http://awansetya18.blogspot.com/
Lke the wildflowers that disappear and the longing for the sky that lay

You, you are the sky that filled with flowing dream
http://awansetya18.blogspot.com/
You, you are the star that raise and fly
Yearning to walk in the closed dreamy road